METRO TV NEWS HUKUM

BERITA LAINYA

Amar Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang Uji Materil UU Pemda

Amar Putusan  Mahkamah Konstitusi Tentang Uji Materil UU Pemda - Inilah Amar putusan MK Nomor Nomor 73/PUU-IX/2011 tentang Uji Materiil Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 12 tahun 2008.

Yang mengajukan Hak uji adalah :

Nama : Feri Amsari, S.H., M.H.
Pekerjaan : Dosen
Alamat : Jalan Kampus Limau Manis Fakultas Hukum
Universitas Andalas, Padang, Sumatera Barat
Selanjutnya disebut sebagai ----------------------------------------Pemohon I;
Nama : Drs. Teten Masduki
Pekerjaan : Swasta
Alamat : Jalan Kalimantan II.8 RT 007/RW 006
Gedong, Kecamatan Pasar Rebo, Jakarta
Timur
Selanjutnya disebut sebagai ---------------------------------------Pemohon II;
Nama : Zainal Arifin Mochtar Husein
Pekerjaan : Dosen
Alamat : Perum Dayu Permai, B.99, RT 10/RW 40,
Sinduhardjo, Ngaklik, Sleman, Yogyakarta
Selanjutnya disebut sebagai --------------------------------------Pemohon III;

Nama : Indonesia Corruption Watch, dalam hal ini
diwakili oleh Danang Widoyoko sebagai Koordinator;
Alamat : Jalan Siaga I Nomor 32 RT/RW 004/005
Pejanten Barat, Pasar Minggu, Jakarta
Selatan

Mengadili,
Menyatakan:

1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian;

1.1. Pasal 36 ayat (1) dan Pasal 36 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang 78 Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentangPemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor4844) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

1.2. Pasal 36 ayat (1) dan Pasal 36 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;

1.3. Pasal 36 ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59,Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai “tindakan penyidikan yang dilanjutkan dengan penahanan terhadap kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah memerlukan persetujuan tertulis dari Presiden dan apabila persetujuan tertulis dimaksud tidak diberikan oleh Presiden dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak diterimanya surat permohonan maka proses penyidikan yang dilanjutkan dengan penahanan dapat langsung dilakukan”;

1.4. Pasal 36 ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “tindakan penyidikan yang dilanjutkan dengan penahanan terhadap kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah memerlukan persetujuan tertulis dari Presiden dan apabila persetujuan tertulis dimaksud tidak diberikan oleh Presiden dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak diterimanya surat permohonan maka proses penyidikan yang dilanjutkan dengan penahanan dapat langsung dilakukan”;

1.5. Pasal 36 ayat (4) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai “hal-hal yang dikecualikan dari ketentuan tersebut pada ayat (3) adalah:
a. tertangkap tangan melakukan tindak pidana kejahatan; atau
b. disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati, atau telah melakukan tindak pidana kejahatan terhadap keamanan negara.”

1.6. Pasal 36 ayat (4) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “hal-hal yang dikecualikan dari ketentuan tersebut pada ayat (3) adalah:
a. tertangkap tangan melakukan tindak pidana kejahatan; atau
b. disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati, atau telah melakukan tindak pidana kejahatan terhadap keamanan negara.”

2. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya;

3. Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya.

Jika anda ingin download Putusan selengkapanya dapat anda Download disini

Dengan dikeluarkanya no Nomor 73/PUU-IX/2011 diatas maka dalam hal penyidikan terhadap kepala Daerah, tidak memerlukan persetujuan dari Presiden sebagai kepala Negara, kecula akan ditahan.

Isi MOU KPK, Kepolisian dan Kejaksaan Tentang Kewenangan Penyidikan

Isi MOU KPK, Kepolisian dan Kejaksaan Tentang Kewenangan Penyidikan - Dalam penanganan tindak pidana korupsi ada MoU (Memorandum of Understanding) semacam perjanjian antara KPK, Kepolisian dan Kejaksaan yang dibagi dalam 3 Nomor Surat yakni.

Nomor SPJ-39/01/- 03/2012 untuk KPK
Nomor KEP-049/A/JA/ 03/2012 untuk kejaksaan
Nomor B/23/III/2012 untuk Kepolisiann
MOU KPK, Kejaksaan dan Kepolisian dibuat tertanggal 29 Maret 2012.

ISI MOU KPK-KEPOLISIAN- KPK
  1. Dalam hal PARA PIHAK melakukan penyelidikan pada sasaran yang sama, untuk menghindari duplikasi penyelidikan maka penentuan instansi yang mempunyai kewajiban untuk menindaklanjuti penyelidikan adalah instansi yang lebih dahulu mengeluarkan surat perintah penyeledikan atau atas kesepakatan PARA PIHAK.
  2. Penyelidikan yang dilakukan pihak kejaksaan dan pihak POLRI diberitahukan kepada pihak KPK, dan perkembangannya diberitahukan kepada pihak KPK paling lama 3 (tiga) bulan sekali.
  3. Pihak KPK menerima rekapitulasi penyampain bulanan atas kegiatan penyelidikan yang dilaksanakan oleh pihak Kejaksaan dan pihak Polri.
  4. Penyelidikan dan penyidikan tindak pidan korupsi oleh salah satu pihak dapat dialihkan ke pihak lain sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan, dengan terlebih dahulu dilakukan gelar perkara yang dihadiri oleh PARA PIHAK, yang pelaksanaannya dituangkan dalam Berita Acara.
Demikianlah Informasi MOU KPK, Kepolisian dan kejaksaan, semoga bermanfaat bagi anda semua. Sekian dan terimakasih.

Lowongan Penerimaan CPNS Mahkamah Agung 2012

Lowongan Penerimaan CPNS Mahkamah Agung 2012 - Bagi anda yang ingin mencoba menjadi Pegawai Negeri Sipil Mahkamah Agung, ikutilah penerimaan CPNS Mahkamah Agung 2012 yang akan dilaksanakan pada tanggal 16 juli sampai 28 Juli 2012. Pendaftarannya dilaksanakan secara online di cpnsonline.mahkamahagung.go.id.

Inilah pengumuman Penerimaan CPNS Mahkamah Agung 2012 :
1. Pendaftaran diumumkan secara resmi melalui website Mahkamah Agung RI (www.mahkamahagung.go.id), website masing-masing Dirjen pada 4 Lingkungan Peradilan, website dan papan Pengumuman pada tiap-tiap pengadilan tingkat banding di Seluruh NKRI

2. Daftar Nama pengadilan Tingkat Banding dan Alamatnya dapat dilihat pada http://litbangdiklatkumdil.net/direktori-pengadilan.html

3. Pendaftaran diakses secara online melalui website http://cpnsonline.mahkamahagung.go.id mulai 16 Juli s.d 28 Juli 2012

Pelaksanaan Ujian Praktek dan Seleksi Administrasi CPNS 2012

1. Ujian Praktek dan Tes Administrasi dilaksanakan mulai tanggal 6 Agustus s.d 10 Agustus 2012

2. Peserta mengikuti Ujian Praktek dan Seleksi Administrasi sesuai dengan Lokasi seleksi Administrasi yang sudah dipilih oleh
3. peserta yang bersangkutan dan tercantum pada dokumen pendaftaran

4. Peserta diwajibkan untuk memenuhi semua dokumen yang tecantum dalam persyaratan

Pelaksanaan Ujian Tulis CPNS 2012

1. Pelamar yang dinyatakan lulus Ujian Praktek dan Seleksi Administrasi (dibuktikan dengan nomor Ujian) dapat mengikuti Ujian Tulis pada 8 September 2012

2. Data peserta dan tempat Ujian Tulis diumumkan pada tempat peserta mengikuti Ujian Praktek dan Seleksi Administrasi

3. Ujian Tulis meliputi Tes Kemampuan Dasar (TKD) dan Tes Kemampuan Bidang (TKB)

Lowongan pekerjaan ini sangat cocok bagi Sarjana Hukum, semoga anda diterima. Sekian dan terimkasih.

Pengertian Grasi | Dasar Hukum Grasi

Pengertian Grasi | Dasar Hukum Grasi - Grasi adalah salah satu dari lima hak Presiden Indonesia di bidang yudikatif. Grasi adalah Hak untuk memberikan pengurangan hukuman, pengampunan, atau bahkan pembebasan hukuman sama sekali.

Dasar hukum pemberian grasi oleh Presiden adalah pasal 14 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 bahwa Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung.

Pemberian Grasi diatur juga dalam UU No 5 Tahun 2012 Tentang Perubahan UU No 22 Tahun 2002 Tentang Grasi.

Berikut UU No 5 Tahun 2012 Tentang Perubahan UU No 22 Tahun 2002 Tentang Grasi.:


Download UU No 5 Tahun 2010

Pengertian JUSTICE COLLABORATOR

Pengertian JUSTICE COLLABORATOR - Pengertian Justice Collaborator secara yuridis dapat ditemukan pada Surat Edaran MA (SEMA) No 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan bagi Whistleblower dan Justice Collaborator. Pada SEMA tersebut, Justice Collaborator dimaknai sebagai seorang pelaku tindak pidana tertentu, tetapi bukan pelaku utama, yang mengakui perbuatannya dan bersedia menjadi saksi dalam proses peradilan.

Dalam Surat Keputusan Bersama antara Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Kejaksaan Agung, Kepolisian RI, KPK dan Mahkamah Agung, Justice Collaborator adalah seorang saksi, yang juga merupakan pelaku, namun mau bekerjasama dengan penegak hukum dalam rangka membongkar suatu perkara bahkan mengembalikan aset hasil kejahatan korupsi apabila aset itu ada pada dirinya.
Untuk menentukan seseorang sebagai Justice Collaborator, sesuai SEMA No. 4 Tahun 2011, ada beberapa pedoman, yaitu :
  1. Yang bersangkutan merupakan salah satu pelaku tindak pidana tertentu sebagaimana dimaksud dalamSEMA ini, mengakui kejahatan yang dilakukannya, bukan pelaku utama dalam kejahatan tersebut serta memberikan keterangan sebagai saksi di dalam proses peradilan.
  2. Jaksa penuntut umum dalam tuntutannya menyatakan bahwa yang bersangkutan telah memberikan keterangan dan bukti-bukti yang sangat signifikan sehingga penyidik dan atau penuntut umum dapat mengungkap tindak pidana yang dimaksud secara efektif, mengungkap pelaku-pelaku lainnya yang memiliki peran lebih besar dan/atau mengembalikan asset-aset/hasil suatu tindak pidana.
  3. Atas bantuannya tersebut, maka terhadap saksi pelaku yang bekerja sama sebagaimana dimaksud di atas, hakim dalam menentukan pidana yang akan dijatuhkan dapat mempertimbangkan hal-hal penjatuhan pidana sebagai berikut :
  • Menjatuhkan pidana percobaan bersyarat khusus, dan/atau
  • Menjatuhkan pidana berupa pidana penjara yang paling ringan diantara terdakwa lainnya yang terbukti bersalah dalam perkara dimaksud
Dalam pemberian perlakuan khusus dalam bentuk keringanan pidana hakim tetap wajib mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat.

Demikianlah Pengertian JUSTICE COLLABORATOR, semoga menambah pengetahuan kita tentang hukum. Sekian dan terimakasih.

Cara Menuntut Ganti Rugi Jika Menjadi Korban Tindak Pidana

Cara Menuntut Ganti Rugi Jika Menjadi Korban Tindak Pidana - Selain mendapatkan hukuman Penjara, para pelaku Tindak Pidana juga dapat dituntut membayar Ganti Rugi akibat perbuatannya kepada Korban. Bagaimana cara mendapatkan atau menuntut ganti Rugi terhadap pelaku tindak pidana ?

Untuk menjawab pertanyaan diatas maka Admin Blog Ini akan memberikan sedikit penjelasan, Berikut Cara mendapatkan Ganti Rugi kepada pelaku tindak pidana yang merugikan korban :

Ganti Rugi untuk korban tindak pidana pada dasarnya dapat dilakukan melalui tiga cara yaitu;
1)     melalui Penggabungan Perkara Ganti Kerugian,
2)     melalui Gugatan Perbuatan Melawan Hukum, dan
3)     melalui Permohonan Restitusi.
1)     Untuk penggabungan perkara ganti kerugian sendiri diatur dalam Bab XIII UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) yang mengatur dari Pasal 98 hingga Pasal 101. Pasal 98 ayat (1) KUHAP menentukan bahwa, “Jika suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan di dalam suatu pemeriksaan perkara pidana oleh pengadilan negeri menimbulkan kerugian bagi orang lain, maka hakim ketua sidang atas permintaan orang itu dapat menetapkan untuk menggabungkan perkara gugatan ganti kerugian kepada perkara pidana itu.” Untuk itu permohonan penggabungan perkara ganti kerugian berdasarkan ketentuan Pasal 98 ayat (2) UU KUHAP diajukan selambat-lambatnya sebelum penuntut umum mengajukan tuntutan pidana. Dalam hal penuntut umum tidak hadir, permintaan diajukan selambat-lambatnya sebelum hakim menjatuhkan putusan.
 
Pada saat korban tindak pidana meminta penggabungan perkara ganti kerugian maka Pengadilan wajib menimbang tentang kewenangannya untuk mengadili gugatan tersebut, tentang kebenaran dasar gugatan dan tentang hukuman penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh korban (lihat Pasal 99 ayat [1] KUHAP). Putusan mengenai ganti kerugian dengan sendirinya akan mendapatkan kekuatan hukum tetap apabila putusan pidananya juga telah mendapat kekuatan hukum tetap (lihat Pasal 99 ayat [3] KUHAP). Begitu juga apabila Putusan terhadap perkara pidana diajukan Banding maka Putusan Ganti rugi otomatis akan mengalami hal yang sama (lihat Pasal 100 ayat [1] KUHAP). Namun, apabila perkara pidana tidak diajukan banding maka permintaan banding mengenai putusan ganti rugi tidak diperkenankan banding (lihat Pasal 100 ayat [2] KUHAP).
 
Mekanisme pemeriksaan penggabungan perkara ganti kerugian ini berdasarkan ketentuan Pasal 101 KUHAP menggunakan mekanisme yang diatur dalam Hukum Acara Perdata.
 
2)     Mekanisme lain yang tersedia adalah menggunakan Gugatan Perdata biasa dengan model gugatan Perbuatan Melawan Hukum. Dalam gugatan ini, Penggugat, dalam hal ini korban tindak pidana, tentu harus menunggu adanya putusan Pengadilan yang telah memutus perkara pidana yang dilakukan oleh Pelaku (Tergugat).
 
3)     Sementara tersedia juga mekanisme lain yaitu mengajukan permohonan Restitusi yang diajukan berdasarkan ketentuan UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (“UU 13/2006”), PP No. 44 Tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban (“PP 44/2008”), dan Peraturan LPSK No. 1 Tahun 2010 tentang Standar Operasional Prosedur Permohonan dan Pelaksanaan Restitusi.
 
Permohonan Restitusi diatur dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b jo Pasal 7 ayat (2) UU 13/2006 yang kemudian secara lebih detail diatur dalam PP 44/2008
 
Berdasarkan PP 44/2008, permohonan Restitusi ini dapat diajukan sebelum atau setelah pelaku dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (vide Pasal 21 PP 44/2008)
 
Permohonan Restitusi tersebut diajukan secara tertulis yang bermaterei cukup dalam bahasa Indonesia oleh Korban, Keluarganya atau Kuasanya kepada Pengadilan melalui LPSK
 
Permohonan Restitusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 PP 44/2008 memuat sekurang-kurangnya:
a.      identitas pemohon;
b.      uraian tentang tindak pidana;
c.      identitas pelaku tindak pidana;
d.      uraian kerugian yang nyata-nyata diderita; dan
e.      bentuk Restitusi yang diminta.

Permohonan Restitusi harus dilampiri:
a.      fotokopi identitas Korban yang disahkan oleh pejabat yang berwenang;
b.      bukti kerugian yang nyata-nyata diderita oleh Korban atau Keluarga yang dibuat atau disahkan oleh pejabat yang berwenang;
c.      bukti biaya yang dikeluarkan selama perawatan dan/atau pengobatan yang disahkan oleh instansi atau pihak yang melakukan perawatan atau pengobatan;
d.      fotokopi surat kematian dalam hal Korban meninggal dunia;
e.      surat keterangan dari Kepolisian Negara Republik Indonesia yang menunjukkan pemohon sebagai Korban tindak pidana;
f.       surat keterangan hubungan Keluarga, apabila permohonan diajukan oleh Keluarga; dan
g.      surat kuasa khusus, apabila permohonan Restitusi diajukan oleh Kuasa Korban atau Kuasa Keluarga.
 
Jika  permohonan Restitusi di mana perkaranya telah diputus pengadilan dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka permohonan Restitusi harus dilampiri kutipan putusan pengadilan tersebut.
 
Apabila permohonan tersebut oleh LPSK telah dinyatakan lengkap maka akan ada pemeriksaan substantif dan hasil pemeriksaan tersebut ditetapkan dengan Keputusan LPSK beserta pertimbangannya yang disertai rekomendasi untuk mengabulkan permohonan atau menolak permohonan Restitusi.
 
Apabila permohonan Restitusi diajukan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan pelaku tindak pidana dinyatakan bersalah, LPSK menyampaikan permohonan tersebut beserta keputusan dan pertimbangannya kepada pengadilan yang berwenang
 
Setelah LPSK mengajukan permohonan Restitusi, maka Pengadilan memeriksa dan menetapkan permohonan Restitusi dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal permohonan diterima;
 
Pengadilan setelah memeriksa mengeluarkan penetapan yang disampaikan ke LPSK dan LPSK wajib menyampaikan salinan penetapan pengadilan kepada Korban, Keluarga, atau Kuasanya dan kepada Pelaku tindak pidana dan/atau pihak ketiga dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal menerima penetapan.
 
Apabila permohonan Restitusi diajukan sebelum tuntutan dibacakan, LPSK menyampaikan permohonan tersebut beserta keputusan dan pertimbangannya kepada penuntut umum. Penuntut umum kemudian dalam tuntutannya mencantumkan permohonan Restitusi beserta Keputusan LPSK dan pertimbangannya.
 
Putusan Pengadilan yang dijatuhkan disampaikan kepada LPSK dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal putusan;
 
LPSK menyampaikan salinan putusan pengadilan kepada Korban, Keluarga, atau Kuasanya dan kepada Pelaku tindak pidana dan/atau pihak ketiga dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal menerima putusan.
 
Pelaku tindak pidana dan/atau pihak ketiga wajib melaksanakan penetapan atau putusan pengadilan tersebut dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal salinan penetapan pengadilan diterima;
 
Pelaku tindak pidana dan/atau pihak ketiga melaporkan pelaksanaan Restitusi kepada pengadilan dan LPSK dan LPSK membuat berita acara pelaksanaan penetapan pengadilan
 
Setelah proses tersebut di lakukan maka Pengadilan wajib mengumumkan pelaksanaan Restitusi pada papan pengumuman pengadilan.
 
Demikian penjelasan kami, tentang Cara Mendapatkan Ganti Rugi Terhadap Pelaku Tindak Pidana. Semoga Bermanfaat. (Hukumonline.com) 
Dasar hukum:
1.      Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
2.      Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban
3.      Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban
4.      Peraturan LPSK No. 1 Tahun 2010 tentang Standar Operasional Prosedur Permohonan dan Pelaksanaan Restitusi

Cara Mendapatkan Bantuan Hukum Cuma-cuma

Cara Mendapatkan Bantuan Hukum Cuma-cuma Gratis - Berdasarkan pasal 22 Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat) jo. Pasal 2 dan Pasal 12 Peraturan Pemerintah No. 83 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma (PP BHCC), Advokat wajib memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu dan Advokat dilarang menolak permohonan bantuan hukum secara cuma-cuma.

Advokat  yang melanggar ketentuan-ketentuan tersebut dapat dilaporkan kepada Organisasi Advokat dan dijatuhi sanksi sesuai ketentuan yang  berlaku   dalam Organisasi Advokat. ditinjau dari peraturan-peraturan yang ada, dapat ditafsirkan bahwa Advokat wajib memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma apabila ada permintaan kepada Advokat yang bersangkutan dari Pencari Keadilan yang Tidak Mampu.

Untuk memfasilitasi pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma secara lebih efektif dan efisien, PBH PERADI dapat pula menunjuk Advokat PERADI untuk memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada Pencari Keadilan yang Tidak Mampu. Penunjukan tersebut oleh PBH PERADI berlaku sama seperti permohonan atau permintaan langsung dari Pencari Keadilan yang Tidak Mampu.

Disamping sebagai kewajiban,pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma dapat pula dilaksanakan atas inisiatif Advokat sendiri sebagai bentuk bentuk pengabdian Advokat terhadap masyarakat. PBH PERADI menganjurkan kepada anggota PERADI untuk memberikan Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma setidaknya 50  jam kerja setiap tahunnya.

Untuk mendapatkan bantuan hukum secara cuma-cuma dapat melalui 2 jalan alternatif, yaitu:

A. Secara Langsung
  1. Anda mengajukan permohonan memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma secara langsung kepada Advokat PERADI pilihan anda. Anda akan diminta untuk mengisi formulir permohonan dan melampirkan bukti-bukti ketidakmampuan anda secara ekonomis (apabila ada).  [Download Formolir]
  2. Advokat PERADI akan langsung meneruskan permohonan anda kepada PBH PERADI yang akan menilai kelayakan anda sebagai Pencari Keadilan yang Tidak Mampu.
  3. Apabila keterangan dan data permohonan dinyatakan lengkap oleh PBH PERADI maka PBH PERADI paling lama dalam waktu 3 hari kerja wajib memberikan keputusan menerima atau menolak permohonan Bantuan Hukum Secara Cuma-cuma yang dimaksud dan memberitahukan keputusan tersebut secara tertulis kepada Advokat bersangkutan disertai dengan alasan pengabulan atau penolakan permohonan.
  4. Advokat yang bersangkutan akan memberitahukan keputusan PBH PERADI kepada anda dan menyatakan kesediaannya/penolakannya memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma  kepada anda.
B. Secara tidak langsung.
Anda datang ke kantor PBH PERADI yang menilai permohonan anda sekaligus menunjuk  Advokat  untuk anda apabila anda dinilai layak sebagai Pencari Keadilan yang Tidak Mampu.
 
Berdasarkan ketentuan pasal 13 PP Bantuan Hukum dinyatakan bahwa Advokat dalam memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma dilarang menerima atau meminta pemberian dalam bentuk apapun dari Pencari Keadilan yang Tidak Mampu. Advokat yang melanggar ketentuan tersebut dikenai sanksi oleh Organisasi Advokat.

Bila anda merasa tidak puas dengan Advokat yang memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma, anda dapat   mengadukan Advokat yang bersangkutan kepada PBH PERADI. PBH PERADI memeriksa dan menilai kelayakan pengaduan yang diberikan anda.

Apabila dalam pemeriksaan PBH PERADI terbukti bahwa Advokat yang bersangkutan melanggar Kode Etik Advokat dalam memberikan Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma, maka PBH PERADI akan mengadukan Advokat bersangkutan kepada Dewan Kehormatan PERADI untuk diproses menurut ketentuan dalam PP Bantuan Hukum  dan Kode Etik Advokat. Dalam situasi seperti ini, PBH PERADI wajib menyediakan Advokat pengganti untuk anda.

Advokat yang memberikan Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma dapat mengundurkan diri dari perkara yang akan dan/atau diurusnya. Namun dalam hal ini Advokat yang bersangkutan harus memberitahukan alasan pengunduran dirinya kepada Pencari Keadilan yang Tidak Mampu dan PBH PERADI. Bila tidak, hal itu sama saja dengan menelantarkan klien dan melanggar Kode Etik Advokat. Namun anda tidak perlu khawatir karena bagaimanapun, PBH PERADI wajib menyediakan Advokat pengganti untuk Pencari Keadilan yang Tidak Mampu apabila terjadi pengunduran diri oleh Advokat dalam memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma.
 
Powered By Blogger | Portal Design By KOHUON-line © 2009 | Resolution: 1024x768px | Best View: Firefox | Top