METRO TV NEWS HUKUM

BERITA LAINYA

Inilah Kode Etik Profesi Polisi

Kode Etik Polisi - Kepolisian sebagai salah satu lembaga profesi memiliki Kode Etik Profesi. Kode Etik Profesi diperlukan sebagai norma-norma aparat polisi dalam menjalankan tugasnya. Jika dilanggar akan mendapatkan sanksi seperti apa yang dialami Norman Kamaru yang dipecat karena melanggar Kode etik Profesi.

Berikut Kode Etik Profesi Polisi :
KODE ETIK PROFESI

KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PEMBUKAAN

Keberhasilan pelaksanaan tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, dan melindungi, mengayomi serta melayani masyarakat, selain ditentukan oleh kualitas pengetahuan dan keterampilan teknis kepolisian yang tinggi sangat ditentukan oleh perilaku terpuji setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia di tengah masyarakat.

Guna mewujudkan sifat kepribadian tersebut, setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya senantiasa terpanggil untuk menghayati dan menjiwai etika profesi kepolisian yang tercermin pada sikap dan perilakunya, sehingga terhindar dari perbuatan tercela dan penyalahgunaan wewenang.

Etika profesi kepolisian merupakan kristalisasi nilai-nilai Tribrata yang dilandasi dan dijiwai oleh Pancasila serta mencerminkan jati diri setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam wujud komitmen moral yang meliputi pada pengabdian, kelembagaan dan keNegaraan, selanjutnya disusun kedalam Kode Etik Profesi Kepolsiian Negara Republik Indonesia.

Etika pengabdian merupakan komitmen moral setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia terhadap profesinya sebagai pemelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, penegak hukum serta pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat.

Etika kelembagaan merupakan komitmen moral setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia terhadap institusinya yang menjadi wadah pengabdian yang patut dijunjung tinggi sebagai ikatan lahir batin dari semua insan Bhayangkara dan segala martabat dan kehormatannya.

Etika keNegaraan merupakan komitmen moral setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dan institusinya untuk senantiasa bersikap netral, mandiri dan tidak terpengaruh oleh kepentingan politik, golongan dalam rangka menjaga tegaknya hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia mengikat secara moral, sikap dan perilaku setiap anggota Polri.

Pelanggaran terhadap Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia harus dipertanggung-jawabkan di hadapan Sidang Komisi Kode Etik Profesi Kepolsiian Negara Republik Indonesia guna pemuliaan profesi kepolisian.

Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat berlaku juga pada semua organisasi yang menjalankan fungsi Kepolisian di Indonesia.

BAB I

ETIKA PENGABDIAN

Pasal 1

Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia senantiasa bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan menunjukkan sikap pengabdiannya berperilaku :

a. Menjunjung tinggi sumpah sebagai anggota Polri dari dalam hati nuraninya kepada Tuhan Yang Maha Esa;

b. Menjalankan tugas keNegaraan dan kemasyarakatan dengan niat murni karea kehendak Yang Maha Kuasa sebagai wujud nyata amal ibadahnya;

c. Menghormati acara keagamaan dan bentuk-bentuk ibadah yang diselenggarakan masyarakat dengan menjaga keamanan dan kekhidmatan pelaksanaannya.

Pasal 2

Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia berbakti kepada nusa dan bangsa sebagai wujud pengabdian tertinggi dengan :

a. Mendahulukan kehormatan bangsa Indonesia dalam kehidupannya;

b. Menjunjung tinggi lambang-lambang kehormatan bangsa Indonesia;

c. Menampilkan jati diri bangsa Indonesia yang terpuji dalam semua keadaan dan seluruh waktu;

d. Rela berkorban jiwa dan raga untuk bangsa Indonesia.

Pasal 3

Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas memlihara keamanan dan ketertiban umum selalu menunjukkan sikap perilaku dengan :

a. Meletakkan kepentingan Negara, bangsa, masyarakat dan kemanusiaan diatas kepentingan pribadinya;

b. Tidak menuntut perlakuan yang lebih tinggi dibandingkan degan perlakuan terhadap semua warga Negara dan masyarakat;

c. Menjaga keselamatan fasilitas umum dan hak milik perorangan serta menjauhkan sekuat tenaga dari kerusakan dan penurunan nilai guna atas tindakan yang diambil dalam pelaksanaan tugas.

Pasal 4

Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas menegakan hukum wajib memelihara perilaku terpercaya dengan :

a. Menyatakan yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah;

b. Tidak memihak;

c. Tidak melakukan pertemuan di luar ruang pemeriksaan dengan pihak-pihak yang terkait dengan perkara;

d. Tidak mempublikasikan nama terang tersangka dan saksi;

e. Tidak mempublikasikan tatacara, taktik dan teknik penyidikan;

f. Tidak menimbulkan penderitaan akibat penyalahgunaan wewenang dan sengaja menimbulkan rasa kecemasan, kebimbangan dan ketergantungan pada pihak-pihak yang terkait dengan perkara;

g. Menunjukkan penghargaan terhadap semua benda-benda yang berada dalam penguasaannya karena terkait dengan penyelesaian perkara;

h. Menunjukkan penghargaan dan kerja sama dengan sesama pejabat Negara dalam sistem peradilan pidana;

i. Dengan sikap ikhlas dan ramah menjawab pertanyaan tentang perkembangan penanganan perkara yang ditanganinya kepada semua pihak yang terkait dengan perkara pidana yang dimaksud, sehingga diperoleh kejelasan tentang penyelesaiannya.

Pasal 5

Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat senantiasa :

a. Memberikan pelayanan terbaik;

b. Menyelamatkan jiwa seseorang pada kesempatan pertama;

c. Mengutamakan kemuahan dan tidak mempersulit;

d. Bersikap hormat kepada siapapun dan tidak menunjukkan sikap congkak/arogan karena kekuasaan;

e. Tidak membeda-bedakan cara pelayanan kepada semua orang;

f. Tidak mengenal waktu istirahat selama 24 jam, atau tidak mengenal hari libur;

g. Tidak membebani biaya, kecuali diatur dalam peraturan perundang-undangan;

h. Tidak boleh menolak permintaan pertolongan bantuan dari masyarakat dengan alasan bukan wilayah hukumnya atau karena kekurangan alat dan orang;

i. Tidak mengeluarkan kata-kata atau melakukan gerakan-gerakan anggota tubuhnya yang mengisyaratkan meminta imbalan atas batuan Polisi yang telah diberikan kepada masyarakat.

Pasal 6

(1) Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam menggunakan kewenangannya senantiasa berdasarkan pada Norma hukum dan mengindahkan norma agama, kesopanan, kesusilaan dan nilai-nilai kemanusiaan.

(2) Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia senantiasa memegang teguh rahasia sesuatu yang menurut sifatnya atau menurut perintah kedinasan perlu dirahasiakan.

Pasal 7

Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia senantiasa menghindarkan diri dari perbuatan tercela yang dapat merusak kehormatan profesi dan organisasinya, dengan tidak melakukan tindakan-tindakan berupa :

a. Bertutur kata kasar dan bernada kemarahan;

b. Menyalahi dan atau menyimpang dari prosedur tugas;

c. Bersikap mencari-cari kesalahan masyarakat;

d. Mempersulit masyarakat yang membutuhkan bantuan/pertolongan;

e. Menyebarkan berita yang dapat meresahkan masyarakat;

f. Melakukan perbuatan yang dirasakan merendahkan martabat perempuan;

g. Melakukan tindakan yang dirasakan sebagai perbuatan menelantarkan anak-anak dibawah umum;

h. Merendahkan harkat dan martabat manusia.

BAB II

ETIKA KELEMBAGAAN

Pasal 8

Setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia menjunjung tinggi institusinya dengan menempatkan kepentingan organisasi diatas kepentingan pribadi.

Pasal 9

(1) Setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia memegang teguh garis komando, mematuhi jenjang kewenangan, dan bertindak disiplin berdasarkan aturan dan tata cara yang berlaku.

(2) Setiap atasan tidak dibenarkan memberikan perintah yang bertentangan dengan norma hukum yang berlaku dan wajib bertanggung jawab atas pelaksanaan perintah yang diberikan kepada anggota bawahannya.

(3) Setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dibenarkan menolak perintah atasan yang melanggar norma hukum dan untuk itu anggota tersebut mendapatkan perlinungan hukum.

(4) Setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan perintah kedinasan tidak dibenarkan melampaui batas kewenangannya dan wajib menyampaikan pertanggungjawaban tugasnya kepada atasan langsunnya.

(5) Setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya tidak boleh terpengaruh oleh istri, anak dan orang-orang lain yang masih terkait hubungan keluarga atau pihak lain yang tidak ada hubungannya dengan kedinasan.

Pasal 10

(1) Setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia menampilkan sikap kepemimpinan melalui keteladanan, keadilan, ketulusan dan kewibawaan serta melaksanakan keputusan pimpinan yang dibangun melalui tata cara yang berlaku guna tercapainya tujuan organisasi.

(2) Dalam proses pengambilan keputusan boleh berbeda pendapat sebelum diputuskan pimpinan dan setelah diputuskan semua anggota harus tundak pada keputusan tersebut.

(3) Keputusan pimpinan diambil setelah mendengar semua pendapat dari unsur-unsur yang terkait, bawahan dan teman sejawat sederajat, kecuali dalam situasi yang mendesak.

Pasal 11

Setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia senantiasa menjaga kehormatan melalui penampilan seragam dan atau atribut, tanda, pangkat jabatan dan tanda kewenangan Polri sebagai lambang kewibawaan hukum, yang mencerminkan tanggung jawab serta kewajibannya kepada institusi dan masyarakat.

Pasal 12

Setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia senantiasa menampilkan rasa setiakawan dengan sesama anggota sebagai ikatan batin yang tulus atas dasar kesadaran bersama akan tanggug jawabnya sebagai salah satu ... keutuhan bangsa Indonesia, dengan menjunjung tinggi prinsip-prinsip kehormatan sebagai berikut :

a. Menyadari sepenuhnya sebagi perbuatan tercela apabila meninggalkan kawan yang terluka atau meninggal dunia dalam tugas sedangkan keadaan memungkinkan untuk memberi pertolongan;

b. Merupakan ketelaanan bagi seorang atasan untuk membantu kesulitan bawahannya;

c. Merupakan kewajiban moral bagi seorang bawahan untuk menunjukkan rasa hormat dengan tulus kepada atasannya;

d. Menyadari sepenuhnya bahwa seorang atasan akan lebih terhormat apabila menunjukkan sikap menghargai yang sepada kepada bawahannya;

e. Merupakan sikap terhomat bagi anggota Polri baik yang masih dalam dinas aktif maupun purnawirawan untuk menghadiri pemaaman jenazah anggota Polri lainnya yang meninggal karena gugur dalam tugas ataupun meninggal karena sebab apapun, dimana kehadiran dalam pemakaman tersebut dengan menggunakan atribut kehormatan dan tataran penghormatan yang setinggi-tingginya;

f. Selalu terpanggil untuk memberikan bantuan kepada anggota Polri dan purnawirawan Polri yang menghadapi suatu kesulitan dimana dia berada saat itu, serta bantuan dan perhatian yang sama sedapat mungkin juga diberikan kepada keluarga anggota Polri yang mengalami kesulitan serupa dengan memperhatikan batas kemampuan yang dimilikinya;

g. Merupakan sikap terhormat apabila mampu menahan diri untuk tidak menyampaikan dan menyebarkan rahasia pribadi, kejelekan teman atau keadaan didalam lingkungan Polri kepada orang lain yang bukan anggota Polri.

BAB III

ETIKA KENEGARAAN

Pasal 13

Setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia siap sedia menjaga keutuhan wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasaran Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, memelihara persatuan dan kesatuan kebhinekaan bangsa dan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat.

Pasal 14

Setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia menjaga jarak yang sama dalam kehidupan politik dan tidak melibatkan diri pada kegiatan politik taktis, serta tidak dipengaruhi oleh kepentingan politik golongan tertentu.

Pasal 15

Setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia senantiasa berpegang teguh pada konstitusi dalam menyikapi perkembangan situasi yang membahayakan keselamatan bangsa dan Negara.

Pasal 16

Setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia menjaga keamanan Presiden Republik Indonesia dan menghormati serta menjalankan segala kebijakannya sesuai dengan jiwa konstitusi maupun hukum yang berlaku demi keselamatan Negara dan keutuhan bangsa.

BAB IV

PENEGAKAN KODE ETIK PROFESI

Pasal 17

Setiap pelanggaran terhadap Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia dikenakan sanksi moral, berupa :

a. Perilaku pelanggar dinyatakan sebagai perbuatan tercela;

b. Kewajiban pelanggar untuk menyatakan penyesalan atau meminta maaf secara terbatas ataupun secara terbuka;

c. Kewajiban pelanggar untuk mengikuti pembinaan ulang profesi;

d. Pelanggar dinyatakan tidak layak lagi untuk menjalankan profesi Kepolisian.

Pasal 18

Pemeriksaan atas pelanggaran Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia dilakukan oleh Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Pasal 19

Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 17 dan 18, diatur lebih lanjut dengan Tata Cara Sidang Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia.

BAB V

PENUTUP

Pasal 20

Merupakan kehormatan yang tertinggi bagi setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk menghayati, menaati dan mengamalkan Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam pelaksanaan tugas dan wewenangnya maupun dalam kehidupan sehari-hari demi pengabdian kepada masyarakat, bangsa dan Negara.

Ditetapkan di : Jakarta

Pada tanggal : Juli 2003

KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Drs. DA'I BACHTIAR, SH

JENDERAL POLISI


PENJELASAN

TENTANG

KODE ETIK PROFESI KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

I. UMUM.

Pembinaan kemampuan profesi anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam mengemban tugas pokoknya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 dilaksanakan melalui pembinaan etika profesi dan pengembangan pengetahuan serta pengalaman penugasan secara berjenjang, berlanjut dan terpadu.

Selanjutnya setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia menurut Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 diwajibkan untuk menghayati dan menjiwai etika profesi Kepolisian yang tercermin dalam sikap dan perilakunya dalam kedinasan maupun kehidupannya sehari-hari.

Etika profesi Kepolisian memuat 3 (tiga) substansi etika yaitu Etika Pengabdian, Kelembagaan dan KeNegaraan yang dirumuskan dan disepakati oleh seluruh anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia sehingga menjadi kesepakatan bersama sebagai Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia yang memuat komitmen moral setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai kristalisasi nilai-nilai dasar yang terkandung dalam Tribrata dan dilandasi oleh nilai-nilai luhur Pancasila.

Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan pedoman perilaku dan sekaligus pedoman moral bagi anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, sebagai upaya pemuliaan trhadap profesi kepolisian, yang berfungsi sebagai pembimbing pengabdian, sekaligus menjadi pengawas hati nurani setiap anggota agar terhindar dari perbuatan tercela dan penyalahgunaan wewenang.

Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republi Indonesia untuk petama kali ditetapkan oleh Kapolri dengan Surat Keputusan Kapolri No. Pol : Skep/213/VII/1985 tanggal 1 Juli 1985 yang selanjutnya naskah dimaksud terkenal dengan Naskah Ikrar Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia beserta pedoman pengalamannya.

Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 28 tahun 1997 dimana pada pasal 23 mempersyaratkan adanya Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia, maka pada tanggal 7 Maret 2001 diterbitkan buku Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan Keputusan Kapolri No. Pol : Kep/05/III/2001 serta buku Petunjuk Administrasi Komisi Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan Keputusan KaPolri No. Pol : Kep/04/III/2001 tanggal 7 Maret 2001.

Perkembangan selanjutnya berdasarkan Ketetapan MPR-RI Nomor : VI/MPR/2000 tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, Ketetapan MPR-RI Nomor VII/MPR/2000 tentang peran Tentara Nasional Indonesia dan peran Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana tersebut dalam pasal 31 sampai dengan pasal 35, maka diperlukan perumusan kembali Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia yang lebih konkrit agar pelaksanaan tugas Kepolisian lebih terarah dan sesuai dengan harapan masyarakat yang mendambakan terciptanya supremasi hukum dan terwujudnya rasa keadilan.

Selanjutnya perumusan Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia memuat norma perilaku dan moral yang disepakati bersama serta dijadikan pedoman dalam melaksanakan tugas dan wewenang bagi anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia sehingga dapat menjadi pendorong semangat dan rambu-rambu nurani setiap anggota untuk pemuliaan profesi Kepolisian guna meningkatkan pelayanan kepada masyarakat.

Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan organisasi pembina profesi Kepolisian yang berwenang membentuk Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia di semua tingkat organisasi, selanjutnya berfungsi untuk menilai dan memeriksa pelanggaran yang dilakukan oleh anggota terhadap ketentuan Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.

II. BAB DAN PASAL-PASALNYA.

1. Setiap Kode Etik Profesi pada umumnya memuat materi pokok yaitu nilai-nilai/ide yang bersifat mendasar (Statement of ideas) dan prinsip-prinsip pelaksanaan tugas sehari-hari (Statement of guidelines/principles in the simply duties). Oleh karena itu pada naskah Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia memuat ; Bab I berisi nilai-nilai dasar tentang jatidiri anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang menggambarkan nilai-nilai pengabdian sebagaimana terumus dalam filosofi Tribrata, berisi norma moral dalam etika kedinasan yang menggambarkan tingkat profesionalisme anggota, Bab II berisi komitmen moral setiap individu anggota dan institusinya yang berhubungan dengna institusi lainnya dalam kehidupan bernegara, dan Bab IV berisi ketentuan penegakan Kode Etik Profesi Polri yang mengatur ketentuan sanksi moral dan Tata Cara Sidang Komisi.

2. Penjelasan pasal demi pasal :

BAB I. ETIKA PENGABDIAN

Pasal 1.

Sikap moral pengabdian pengemban profesi kepolisian pertama-tama didasarkan pada panggilan ibadah sebagai umat beragama melalui perbuatan nyata berupa menjaga keselamatan sesama manusia, menjunjung tinggi martabat manusia dengna segala kompleksitasnya, menjauhkan dari rasa khawatir dan ketakutan dalam kehidupan sehari-hari serta memelihara segenap aturan bagi terselenggranya sendi kehidupan manusia.

Amal perbuatan tersebut keluar dari dalam hati nuraninya dan bertanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa melalui sumpahnya dihadapan Tuhan Yang Maha Esa.

Buah amal perbuatan tersebut akan dirasakan oleh semua masyarakat yang berbeda-beda agama dalam norma kehidupannya.

Pasal 2.

Selaku anak bangsa setiap pengemban profesi kepolisian terpanggil dari dalam hati nuraninya untuk tetap meluhurkan Indonesia bersama segenap komponen bangsa Indonesia di tengah pergaulan antar bangsa di dunia.

Bangsa Indonesia ibarat sebuah bahtera dengan mengarungi samudera akan mengalami berbagai tantangan perjuangan dan perubahan berbagai keadaan.

Namun setiap pengemban profesi kepolisian tetap menjaga dan memelihara kelangsungan hidup dan kehormatan bangsa dengan segala pengorbanannya tanpa batas.

Pasal 3.

Cukup jelas.

Pasal 4.

Cukup jelas.

Pasal 5.

Memberikan pelayanan terbaik, yang dimaksudkan disini adalah memberikan pelayanan kepada pelayan masyarakat secara ikhlas dengan prosedur pelayanan yang cepat, sederhana, serta tidak bersikap masa bodoh atau bersikap apatis/mendiamkan adanya harapan masyarakat.

Tidak mengenal waktu istirahat selama 24 jam atau tidak mengenal hari libur, yang dimaksudkan disini adalah seorang anggota Polri yang sedang tidak bertugas tetap dianggap sebagai sosok Polisi yang selalu siap memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan masyarakat, oleh karena itu kegiatan Polri yang harus diemban bagi setiap anggota Polri merupakan identitas kegiatan selama 24 jam secara terus menerus, sehingga merupakan perbuatan yang terhormat apabila kepadanya mengenyampingkan hak waktu istirahat atau hari libur untuk selalu mengutamakan panggilan tugas sebagaimana harapan masyarakat dan perintah dari atasan.

Pasal 6.

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Memegang teguh rahasia sesuatu, yang dimaksudkan disini adalah memegang teguh rahasia jabatan terhadap pihak tertentu yang tidak ada hubungannya dengan kepentingan dinas Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Pasal 7.

Pasal ini mengatur batasan-batasan minimal atas larangan terhadap bentuk perilaku yang dapat dikategorikan sebagai penodaan terhadap pemuliaan profesi Polri.

Martabat wanita merupakan sesuatu yang wajib dijunjung tinggi sehingga setiap petugas Polri dalam penangan kasus yang berkaitan dengan wanita perlu diberi suatu rambu-rambu agar tidak menimbulkan persangkaan/penilaian yang merugikan kehormatan profesi, seperti contoh antara lain dalam melakukan pemeriksaan terhadap wanita sangat tidak etis apabila dilakukan hanya oleh seorang petugas apalagi petugas pria.

BAB II. ETIKA KELEMBAGAAN.

Pasal 8.

Cukup jelas.

Pasal 9.

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Menggambarkan hubungan/tingkatan kewenangan dan pertanggungjawaban antara seorang atasan dengan bawahannya secara timbal balik, sehingga apabila terjadi suatu penyimpangan perilaku maka kedua belah pihak mempertanggungjawabkan perbuatannya masing-masing atau secara bersama.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas

Ayat (5)

Cukup jelas.

Pasal 10.

Tatacara yang berlaku, yang dimaksudkan adalah suatu proses pengambilan keputusan yang ditempuh melalui musyawarah dengan menampung saran pendapat anggota sebagai bahan pengambilan keputusan.

Pasal 11.

Cukup jelas.

Pasal 12.

Cukup jelas.

BAB III. ETIKA KENEGARAAN.

Pasal 13.

Cukup jelas

Pasal 14.

Pasal ini menjelaskan bahwa anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia menginginkan untuk tidak terpolitisasi dan terintervensi oleh pihak manapun dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya.

Pasal 15.

Berpegang teguh pada konstitusi, yang dimaksud adalah semua tindakan Kepolisian yang diambil dalam upaya mencegah dan menanggulangi situasi yang membahayakan keselamatan bangsa dan Negara tetap berdasarkan kepada Undang-Undang Dasar 1945.

Pasal 16.

Cukup jelas.

BAB IV. PENEGAKAN KODE ETIK PROFESI

Pasal 17.

Setiap pelanggaran terhadap Kode Etik Profesi dikenakan sanksi moral yang disampaikan dalam bentuk putusan Sidang Komisi secara tertulis kepada terperiksa, dimana sanksi moral tersebut bisa berupa pernyataan putusan yang menyatakan tidak tebrukti atau pernyataan putusan yang menyatakan terperiksa tebrukti melakukan pelanggaran Kode Etik Profesi Polri.

Bentuk sanksi moral sebagaimana diatur dalam Pasal 17 Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan bentuk-bentuk sanksi moral yang penerapannya tidak secara kumulatif, namun sanksi moral tersebut terumus dari kadar sanksi yang teringan sampai dengan kadar sanksi terberat sesuai pelanggaran perilaku terperiksa yang dapat dibuktikan dalam Sidang Komisi.

Pernyataan penyesalan secara terbatas, yang dimaksudkan adalah pernyataan meminta maaf secara langsung baik lisan maupun tertulis oleh terperiksa kepada pihak ketiga yang dirugikan atas perilaku terperiksa.

Pernyataan penyesalan secara terbuka, yang dimaksudkan adalah penyataan meminta maaf secara tidak langsung oleh terperiksa kepada pihak ketiga yang dirugikan melalui media massa.

Kewajiban pelanggar untuk mengikuti pembinaan ulang profesi, yang dimaksudkan adalah anggota Polri yang telah terbukti melanggar ketentuan Kode Etik Profesi Polri sebanyak 2 (dua) kali atau lebih melalui putusan Sidang Komisi Kode Etik Polri, kepadanya diwajibkan untuk mengikuti penataran/pelatihan ulang pembinaan profesi di Lembaga Pendidikan Polri.

Pelanggar dinyatakan tidak layak lagi untuk menjalankan profesi Kepolisian, yang dimaksudkan adalah pelanggar dianggap tidak pantas mengemban profesi kepolisian sebagaimana diatur dalam rumusan tugas dan wewenang kepolisian pada pasal 14, 15 dan 16 Undang-Undang nomor 2 tahun 2002, sehingga Ketua Sidang Komisi dapat menyarankan kepada Kasatker setempat agar pelanggar iberikan sanksi administratif berupa Tour of duty, Tour of area, Pemberhentian dengan hormat, atau Pemberhentian tidak dengan hormat.

Pasal 18.

Pemeriksaan dalam Sidang Komisi adalah upaya pembuktian terhadap dugaan telah terjadinya pelanggara Kode Etik Profesi Polri yang didasari oleh proses putusan sidang yang cermat sehingga tidak menjadi sarana persaingan tidak sehat antar anggota. Sidang Komisi ini juga merupakan representasi masyarakat profesi dalam rangka pemuliaan profesi Kepolisian.

Pasal 19.

Pengaturan secara rinci tentang Tata Cara Sidang Komisi Kode Etik diatur tersendiri dengan Keputusan Kapolri.

BAB V. PENUTUP.

Pasal 20.

Cukup jelas.

Ditetapkan di : Jakarta

Pada tanggal : 1 Juli 2003

KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Drs. DA'I BACHTIAR, SH

JENDERAL POLISI

Menyoal Peradilan Anak

Menyoal Peradilan Anak - Anak yang berhadapan dengan hukum merupakan situasi yang paling kritis. Luar biasa sengsaranya anak-anak yang berhadapan dengan hukum, pada usia yang belia mereka harus dihadapkan dengan polisi, jaksa dan hakim, yang semuanya masih memiliki mainstreem penjara sebagai akhir dari proses peradilan. Berdasarkan hal tersebut, tampaknya sangat perlu kita mendorong pemerintah untuk membuat instrumen khusus untuk melindungi anak.

Saat ini hampir disemua sudut-sudut pengadilan di seluruh Indonesia banyak terpampang poster-poster bertuliskan “Penjara Bukan Tempat Terbaik Bagi Anak”. Belum lagi pemerintah telah menerbitkan Surat Keputusan Bersama yang ditandatangani dan ditetapkan pada tanggal 22 Desember 2009 secara bersama-sama oleh 6 (enam) Pimpinan Lembaga Tinggi Negara antara lain Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Menteri Hukum Dan HAM Republik Indonesia, Menteri Sosial Republik Indonesia, Menteri Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak Republik Indonesia yang pada pokoknya berisikan tentang mekanisme penyelesaian pidana dengan pelaku harus menggunakan pendekatan restoratif. Pendekatan restoratif yang dimaksud adalah anak yang berhadapan dengan hukum penyelesaiannya harus didahului melalui mekanisme musyawah yang melibatkan Balai Pemasyarakatan, orang tua dan/atau keluarga korban dan pelaku tindak pidana serta tokoh masyarakat setempat.

Namun ternyata meskipun telah banyak poster yang terpampang di Pengadilan tentang anak dan telah diterbitkannya SKB 6 Pimpinan Lembaga Tinggi Negara, ternyata aparat penegak hukum kita masih saja melakukan praktik penegakan hukum terhadap pelaku anak-anak dengan pendekatan persidangan dan penjara.

Hak Untuk Didampingi Penasihat Hukum.

Dalam perkara anak seringkali didapati kondisi ketika anak berhadapan dengan hukum haknya untuk mendapatkan penasihat hukum dilalaikan oleh Penyidik Kepolisian dan Jaksa. Padahal jika merujuk pada pasal 51 ayat (1) UU No. 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak telah diuraikan bahwa setiap Anak Nakal sejak saat ditangkap atau ditahan berhak mendapatkan bantuan hukum dari seorang atau lebih Penasihat Hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan menurut tata cara yang ditentukan dalam Undang-undang.

Bahwa ketentuan pasal tersebut bersifat imperatif dan harus dilaksanakan oleh penyidik, mengingat hal tersebut merupakan hak anak yang harus dipenuhi oleh penyidik. Namun kerap kali penyidik tidak mau memenuhi hak anak tersebut, alih-alih penyidik kepolisian menyiapkan surat penyataan bahwa si anak tidak bersedia untuk didampingi oleh penasihat hukum (Lihat perkara Deli Suhandi di PN Jak-Pus).
(http://megapolitan.kompas.com/read/2011/05/11/16352515/Eksepsi.Dikabulkan.Deli.Suhandi.Bingung).

Pembuatan Surat Pernyataan tidak bersedia untuk didampingi penasihat hukum yang dilakukan oleh Penyidik tampaknya sudah menjadi kebiasaan, padahal tindakan tersebut bertentangan dengan hukum sehingga seharusnya dinyatakan batal demi hukum. Seringkali dalam persidangan para penasihat hukum mengangkat masalah ini yang dituangkan dalam sebuah eksepsi, namun ternyata dalam persidangan hakim tidak pernah memperhatikannya. Padahal seorang anak yang masih berada di bawah usia tidak diperkenankan untuk melakukan perbuatan hukum (diperiksa), melainkan harus dengan persetujuan dan didampingi oleh Penasihat hukum atau orang tua dan atau walinya.

Masih ingat dalam ingatan kita ketika seorang Cirus Sinaga, SH, Komjen Pol. Susnoduadji, Prof. DR. Yusril Ihza Mahendra, S.H, M.Hum, dan Prof. Dr Romli Atmasasmita, sederet ahli hukum dan orang-orang yang sudah berpengalaman dalam dunia hukum pidana ternyata ketika berhadapan dengan hukum masih membutuhkan jasa pengacara / penasihat hukum untuk mendampinginya ketika dalam proses pemeriksaan di tingkat kepolisian, kejaksaan dan persidangan. Maka berdasarkan hal tersebut sangat mustahil jika seorang anak yang berada di bawah umur akan menolak untuk didampingi penasihat hukum, apalagi sampai-sampai menulis surat pernyataannya bahwa dirinya tidak bersedia untuk didampingi penasihat hukum.

Visi yang tak Sama.

Bahwa kewajiban hukum bagi Penyidik untuk menyediakan penasihat hukum bagi anak ketika diperiksa ditingkat penyidik pada dasarnya bersifat imperatif. Karena dengan tidak didampinginya anak dalam pemeriksaan di tingkat penyidikan maka BAP yang dibuat secara otomatis akan berakibat cacat hukum, dan pada akhirnya Surat Dakwaan Jaksa Penuntut Umum yang disusun berdasarkan BAP yang cacat hukum tersebut secara otomatis juga menjadi batal demi hukum.


Bahwa padangan ini pada dasarnya telah diterapkan oleh Juris di Pengadilan Negeri Wonosobo dalam Putusan No. 22/Pid.B/2002/PN.WNS yang kemudian dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Yogjakarta dalam Putusan No. 03/PID/PLW/2002/PTY. Selanjutnya dalam perkara Deli Suhandi (14 tahun) yang tidak didampingi oleh penasihat hukum selama proses BAP, yang kemudian menandatangani surat pernyataan tidak bersedia untuk didampingi penasihat hukum yang disodorkan oleh Penyidik ternyata atas hal tersebut hakim Penghadilan Negeri Jakarta Pusat menyatakan hal tersebut merupakan perbuatan melawan hukum, mengingat Penyidik memiliki kewajiban hukum untuk menunjuk penasihat hukum. Pendapat ini dapat ditemukan dalam Putusan No. 728/Pid.B/2011/PN.JKT.PST, tanggal 11 Mei 2011 yang dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dalam Putusan No. 246/Pid.B/PLW/2011/PT.DKI, tanggal 19 Juli 2011. Bahwa pendapat hukum tersebut juga sesuai dengan pendirian MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA dari suatu Putusannya No. 1565K/Pid/1991, Tanggal 16 September 1993 jo. No. 367 K/Pid/1998 tertanggal 29 Mei 1998.

Namun ternyata lagi-lagi hakim kita tidak memiliki kesamaan pandangan atas hal ini. Terkadang mereka berpendapat bahwa hakim tidak terikat pada pendapat hakim sebelumnya. Namun menurut penulis hal tersebut merupakan persyaratan formal dan perintah undang-undang, oleh karenanya tidak ada satupun alasan yang bisa dibenarkan bagi hakim untuk membiarkan anak diperiksa dalam persidangan padahal BAP nya dibuat tanpa didampingi oleh Penasihat Hukum.

Penulis berharap dikemudian hari Mahkamah Agung memiliki kesamaan pandangan dalam membuat putusan, sehingga hak anak untuk mendapatkan penasihat hukum tidak diabaikan. Dan pada akhirnya proses persidangan yang berlangsung sudah melalui tahapan-tahapan yang ditentukan oleh peraturan hukum yang berlaku, sehingga membawa anak ke tengah persidangan merupakan jalan terakhir. (Supriyadi Sebayang, S.H)

Cara Mendapatkan Remisi


Cara Mendapatkan Remisi Atau Memperoleh Pengurangan Masa Hukuman - Remisi adalah pengurangan masa menjalani pidana yang diberikan kepada narapidana dan anak pidana yang memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan (lihat Pasal 1 ayat [6] PP No. 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan – PP 32/1999).

Remisi diberikan oleh Menteri Hukum dan HAM setelah mendapat pertimbangan dari Direktur Jenderal Pemasyarakatan. Pemberian Remisi ditetapkan dengan Keputusan Menteri. Demikian ketentuan Pasal 34A PP No. 28 Tahun 2006 tentang Perubahan atas PP 32/1999 (“PP 28/2006”) dan Pasal 1 Keputusan Presiden No. 174 Tahun 1999 tentang Remisi.

Pihak yang berhak memperoleh remisi adalah sebagai berikut:
  1. Narapidana dan Anak Pidana (lihat Pasal 14 ayat [1] huruf i dan Pasal 22 ayat [1] UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan), dan
  2. Narapidana dan Anak Pidana yang tengah mengajukan permohonan grasi sambil menjalankan pidananya serta Narapidana dan Anak Pidana Asing (lihat Pasal 11 Keputusan Presiden No. 174 Tahun 1999 tentang Remisi).


Persyaratan agar dapat mengajukan Remisi adalah sebagai berikut

Narapidana atau Anak Pidana berhak mendapatkan Remisi apabila:

-   Berkelakuan baik; dan
-   Telah menjalani masa pidana lebih dari 6 (enam) bulan.
Remisi dapat pula diberikan apabila Narapidana atau Anak Pidana melakukan perbuatan yang membantu kegiatan LAPAS

Bagi Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme, narkotika dan psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara dan kejahatan hak asasi manusia yang berat, dan kejahatan transnasional terorganisasi lainnya, diberikan Remisi apabila:
-        Berkelakuan baik; dan
-        Telah menjalani 1/3 (satu per tiga) masa pidana.
(Dasar hukum: Pasal 34 PP 28/2006)

Ada lima jenis Remisi, yaitu;
  1. Remisi Umum: diberikan pada hari peringatan kemerdekaan RI, 17 Agustus.
  2. Remisi Umum Susulan: Remisi Umum yang diberikan kepada narapidana dan anak pidanan yang pada tanggal 17 Agustus telah menjalani masa penahanan paling singkat 6 (enam) bulan dan belum menerima putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap
  3. Remisi Khusus: diberikan pada hari besar keagamaan yang dianut oleh Narapidana dan Anak Pidana yang bersangkutan. Jika terdapat lebih dari satu macam hari besar keagamaan dalam setahun untuk suatu agama tertentu, maka akan dipilih hari besar yang paling dimuliakan oleh penganut agama yang bersangkutan.
  4. Remisi Khusus Susulan: Remisi Khusus yang diberikan kepada narapida dan anak pidana yang pada hari besar keagamaan sesuai dengan agama yang dianutnya telah menjalani masa penahanan paling singkat 6 (enam) bulan dan belum menerima putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap
  5. Remisi Tambahan: kedua Remisi di atas dapat ditambah apabila Narapidana atau Anak Pidana yang bersangkutan selama menjalani pidana:

-        Berbuat jasa kepada Negara;
-        Melakukan perbuatan yang bermanfaat bagi Negara atau kemanusiaan; dan
-        Melakukan perbuatan yang membantu kegiatan pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan.
(Dasar hukum: Pasal 2 dan Pasal 3 Keputusan Presiden No. 174 Tahun 1999 tentang Remisi serta Pasal 1 Peraturan Menteri Hukum dan HAM No. M.HH-01.PK.02.02 Tahun 2010 tentang Remisi Susulan).

Prosedur atau tata cara untuk mengajukan remisi adalah sebagai berikut:
A.     Remisi Umum:
  1. Usul remisi diajukan kepada Menteri Hukum dan Perundang-undangan oleh Kepala Lembaga Pemasyarakatan, Kepala Rumah Tahanan Negara, atau Kepala Cabang Rumah Tahanan Negara melalui Kepala Kantor Departemen Hukum dan HAM.
  2. Keputusan Menteri Hukum dan HAM tentang remisi diberitahukan kepada Narapidana dan Anak Pidana pada hari peringatan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus bagi mereka yang diberikan remisi pada peringatan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia atau pada hari besar keagamaan yang dianut oleh Narapidana dan Anak Pidana yang bersangkutan.
  3. Jika terdapat keraguan tentang hari besar keagamaan yang dianut oleh Narapidana atau Anak Pidana, Menteri Hukum dan Perundang-undangan mengkonsultasikannya dengan Menteri Agama.

(Dasar hukum: Pasal 13 Keputusan Presiden No. 174 Tahun 1999 tentang Remisi).

B.      Remisi Susulan:
  1. Remisi Susulan hanya diberikan kepada Narapidana dan Anak Pidana yang belum pernah menerima remisi.
  2. Pengusulan Remisi Susulan dilakukan oleh Kepala Lembaga Pemasyarakatan, Kepala Rumah Tahanan Negara, atau Kepala Cabang Rumah Tahanan Negara.
  3. Pengusulan Remisi Khusus dilakukan dengan mengisi formulir Remisi Umum Susulan sebagaimana terlampir dalam Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia No. M.HH-01.PK.02.02 Tahun 2010 tentang Remisi Susulan.
  4. Usulan Remisi Susulan tersebut kemudian dibuatkan keputusan oleh Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
  5. Keputusan Kanwil tersebut kemudian dilaporkan kepada Direktur Jenderal Pemasyarakatan
  6. Remisi Susulan ditetapkan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.

(Dasar Hukum: Pasal 6 s.d. Pasal 9 Peraturan Menteri Hukum dan HAM No. M.HH-01.PK.02.02 Tahun 2010 tentang Remisi Susulan).

Demikianlah prosedur dan tata cara mendapatkan remisi hukuma, semoga bermanfaat bagi para pembaca. tulisan ini bersumber dari (hukumonline.com)

Peraturan Hukum Yang Dilanggar Penjual IPAD Randy dan Dian

Peraturan Yang Dilanggar Penjual IPAD Randy dan DIan Di Kaskus - Dua orang penjual Ipad di Kaskus yang benama Dian Yudha Negara (42) dan Randy Lester Samu (29), yang di tangkap 24 November 2010 lalu oleh Kepolosian Metro Jaya, dikarenakan kedua orang tersebut melanggar hukum yakni Undang-undang  Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi.
Keduanya didakwa melanggar Pasal 62 Ayat (1) juncto Pasal 8 Ayat 1 huruf J Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen karena tidak memiliki buku manual berbahasa Indonesia dan Pasal 52 juncto Pasal 32 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi karena iPad belum terkategori sebagai alat elektronik komunikasi resmi.

Berikut bunyi pasal 62 Ayat (1) juncto Pasal 8 Ayat 1 huruf J Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen :

Pasal 8 ayat 1  huruf J
Tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 62 ayat 1
Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e,ayat (2) dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000,00 (dua juta rupiah

Berikut bunyi isi pasal 52 juncto Pasal 32 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi:

Pasal 32 ayat 1
Perangkat telekomunikasi yang diperdagangkan, dibuat, dirakit, dimasukkan dan atau digunakan di wilayah Negara Republik Indonesia wajib memperhatikan persyaratan teknis dan berdasarkan izin sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 52
Barang siapa memperdagangkan, membuat, merakit, memasukkan atau menggunakan perangkat telekomunikasi di wilayah Negara Republik Indonesia yang tidak sesuai dengan persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Hukuman Arifinto Anggota DPR Menonton Video Porno


Hukuman Arifinto Anggota DPR Menonton Video Porno - Arifinto Anggota DPR yang menonton Video porno saat sidang dapat dihukum karena jelas melanggar Pasal 5 jo Pasal 31 UU Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, yang mengatur larangan mengunduh materi pornografi dengan disertai ancaman hukuman pidana penjara paling lama empat tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp2 miliar.

Selain melanggar ketentuan diatas Arifinto kader dari Partai keadilan Sejahtera ini dapat dikenakan pasal 6 jo pasal 32 UU Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, dimana menurut kesaksian Fotografer yang melihat moment itu menyatakan bahwa Arifinto mengambil video tersebut dari Folder tablet nya, hal ini berarti Arifinto menyimpan video tersebut.

Kasus ini harus segera diselediki oleh pihak Kepolisian, jangan lagi diberikan toleransi, apalagi saat ini pemerintah dengan genjar-genjarnya menyatakan perang terhadap pornografi, jadi kasus ini dapat dijadikan sebagai pembuktian apakah pemerintah serius atau tidak.

Kejadian ini juga dapat dijadikan momen sebagai penegakan hukum yang saat ini dimata masyarakat mulai lemah, bahkan terkesan tebang pilih. Jadi ini sebuah ujian kepada polri apakah Hukum lebih kuat dibanding politik. Selamat mengikuti, semoga tidak kabur seperti Century dan Pajak.

Pertimbangan Hakim Hukuman Gayus 7 Tahun Denda 300 Juta

Pertimbangan Hakim Hukuman Gayus  7 Tahun Denda 300 Juta - Pengadilan Negeri jakarta selatan telah memvonis  Gayus Halomoan P Tambunan 30, pegawai Direktorat Jendral Pajak divonis jauh lebih ringan dari tuntutan jaksa yakni 7 tahun penjara dan denda sebesar 300 jt.

Seperti diketahui, Gayus Halomoan P Tambunan dihukum ringan, tidak sampai separuh dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU).  Majelis hakim terdakwa Gayus menjatuhkan vonis tujuh tahun penjara dan denda Rp 300 juta  subsider tiga bulan kurungan. Sedangkan JPU menuntut 20 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider enam bulan kurungan.

Inilah pertimbangan Hakim Menghukum gayus 7 tahun Penjara denda 300 juta

Ketua majelis hakim Albertina Ho menyatakan, terdakwa terbukti melakukan pelanggaran seperti dalam dakwaan  JPU, yakni dakwaan kesatu subsider, dakwaan kedua primair, dakwaan ketiga dan dakwaan keempat. Albertina menyatakan, Gayus terbukti telah menyalahgunakan wewenang dan korupsi saat menangani keberatan dan banding wajib pajak, PT Surya Alam Tunggal (SAT). Gayus telah mengusulkan kepada pimpinannya supaya menerima keberatan dan banding PT SAT.

Dikatakan, Gayus tidak melakukan penelitian secara teliti, cermat dan menyeluruh saat mengusulkan untuk menerima keberatan dan banding PT SAT kepada pimpinannya. Albertina mengungkapkan, negara dirugikan Rp 570 juta atas diterimanya keberatan dan banding tersebut.Perbuatan tersebut, lanjut Albertina, telah melanggar Pasal 3 jo Pasal 18 Undang Undang (UU) No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).

Majelis hakim menyatakan, terdakwa telah melakukan perbuatan seperti dalam dakwaan kedua primair yakni telah menyuap 760 ribu dolar AS kepada penyidik Bareskrim Mabes Polri Kompol M Arafat Enani dan AKP Sri Sumartini melalui pengacaranya, Haposan Hutagalung.

Albertina mengatakan, Gayus telah menyuap mereka supaya blokir 10 rekeningnya di Bank Mandiri dicabut, tidak ada penyitaan rumah, dan pemeriksaan di luar gedung Bareskrim Mabes Polri yakni di hotel. Atas perbuatan tersebut, Gayus dinyatakan telah melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a UU No 31/1999 tentang Tipikor.

Sedangkan Majelis hakim menyatakan, terdakwa telah melakukan perbuatan seperti dalam dakwaan ketiga dan dijerat dengan Pasal 6 ayat (1) huruf a UU No 31/1999 tentang Tipikor. Gayus terbukti telah memberikan janji kepada Ketua PN Tangerang, Muhtadi Asnun 40 ribu dolar AS untuk mempengaruhi putusan majelis hakim yang akan diterimanya.

Albertina menambahkan, bahwa Gayus telah melanggar Pasal 22 jo Pasal 28 UU No 31/1999 tentang Tipikor jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP seperti dakwaan keempat. Gayus dinyatakan telah memberikan keterangan palsu kepada penyidik terkait kepemilikan Rp 28 miliar di rekening terdakwa di Bank Mandiri.

Surat Perjanjian Palsu

Gayus terbukti membuat surat perjanjian palsu dengan Andi Kosasih. Surat perjajian itu dibuat supaya rekeningnya yang telah diblokir dapat dibuka kembali. Majelis hakim menilai hal-hal yang memberatan terdakwa yakni, perbuatan terdakwa tidak mendukung penyelenggaraan negara yang bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) dan perbuatan terdakwa menghambat pemasukan pajak.

Sedangkan yang meringankan yakni, terdakwa belum pernah dihukum, terdakwa mempunyai keluarga yang masih membutuhkan perlindungan dan kasih sayangnya dan terdakwa masih berusia muda sehingga mempunyai kesempatan untuk memperbaiki perbuatannya.

Albertina dalam kesempatan tersebut juga menolak permohonan kuasa hukum terdakwa yang meminta majelis hakim memberikan penetapan supaya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melanjutkan penyidikan kasus mafia pajak tersebut. Dia beralasan semua penegak hukum harus menegakkan hukum sesuai dengan kewenangannya masing-masing.
 
Powered By Blogger | Portal Design By KOHUON-line © 2009 | Resolution: 1024x768px | Best View: Firefox | Top