Menyoal Peradilan Anak - Anak yang berhadapan dengan hukum merupakan situasi yang paling kritis. Luar biasa sengsaranya anak-anak yang berhadapan dengan hukum, pada usia yang belia mereka harus dihadapkan dengan polisi, jaksa dan hakim, yang semuanya masih memiliki mainstreem penjara sebagai akhir dari proses peradilan. Berdasarkan hal tersebut, tampaknya sangat perlu kita mendorong pemerintah untuk membuat instrumen khusus untuk melindungi anak.
Saat ini hampir disemua sudut-sudut pengadilan di seluruh Indonesia banyak terpampang poster-poster bertuliskan “Penjara Bukan Tempat Terbaik Bagi Anak”. Belum lagi pemerintah telah menerbitkan Surat Keputusan Bersama yang ditandatangani dan ditetapkan pada tanggal 22 Desember 2009 secara bersama-sama oleh 6 (enam) Pimpinan Lembaga Tinggi Negara antara lain Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Menteri Hukum Dan HAM Republik Indonesia, Menteri Sosial Republik Indonesia, Menteri Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak Republik Indonesia yang pada pokoknya berisikan tentang mekanisme penyelesaian pidana dengan pelaku harus menggunakan pendekatan restoratif. Pendekatan restoratif yang dimaksud adalah anak yang berhadapan dengan hukum penyelesaiannya harus didahului melalui mekanisme musyawah yang melibatkan Balai Pemasyarakatan, orang tua dan/atau keluarga korban dan pelaku tindak pidana serta tokoh masyarakat setempat.
Namun ternyata meskipun telah banyak poster yang terpampang di Pengadilan tentang anak dan telah diterbitkannya SKB 6 Pimpinan Lembaga Tinggi Negara, ternyata aparat penegak hukum kita masih saja melakukan praktik penegakan hukum terhadap pelaku anak-anak dengan pendekatan persidangan dan penjara.
Hak Untuk Didampingi Penasihat Hukum.
Dalam perkara anak seringkali didapati kondisi ketika anak berhadapan dengan hukum haknya untuk mendapatkan penasihat hukum dilalaikan oleh Penyidik Kepolisian dan Jaksa. Padahal jika merujuk pada pasal 51 ayat (1) UU No. 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak telah diuraikan bahwa setiap Anak Nakal sejak saat ditangkap atau ditahan berhak mendapatkan bantuan hukum dari seorang atau lebih Penasihat Hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan menurut tata cara yang ditentukan dalam Undang-undang.
Bahwa ketentuan pasal tersebut bersifat imperatif dan harus dilaksanakan oleh penyidik, mengingat hal tersebut merupakan hak anak yang harus dipenuhi oleh penyidik. Namun kerap kali penyidik tidak mau memenuhi hak anak tersebut, alih-alih penyidik kepolisian menyiapkan surat penyataan bahwa si anak tidak bersedia untuk didampingi oleh penasihat hukum (Lihat perkara Deli Suhandi di PN Jak-Pus).
(http://megapolitan.kompas.com/read/2011/05/11/16352515/Eksepsi.Dikabulkan.Deli.Suhandi.Bingung).
Pembuatan Surat Pernyataan tidak bersedia untuk didampingi penasihat hukum yang dilakukan oleh Penyidik tampaknya sudah menjadi kebiasaan, padahal tindakan tersebut bertentangan dengan hukum sehingga seharusnya dinyatakan batal demi hukum. Seringkali dalam persidangan para penasihat hukum mengangkat masalah ini yang dituangkan dalam sebuah eksepsi, namun ternyata dalam persidangan hakim tidak pernah memperhatikannya. Padahal seorang anak yang masih berada di bawah usia tidak diperkenankan untuk melakukan perbuatan hukum (diperiksa), melainkan harus dengan persetujuan dan didampingi oleh Penasihat hukum atau orang tua dan atau walinya.
Masih ingat dalam ingatan kita ketika seorang Cirus Sinaga, SH, Komjen Pol. Susnoduadji, Prof. DR. Yusril Ihza Mahendra, S.H, M.Hum, dan Prof. Dr Romli Atmasasmita, sederet ahli hukum dan orang-orang yang sudah berpengalaman dalam dunia hukum pidana ternyata ketika berhadapan dengan hukum masih membutuhkan jasa pengacara / penasihat hukum untuk mendampinginya ketika dalam proses pemeriksaan di tingkat kepolisian, kejaksaan dan persidangan. Maka berdasarkan hal tersebut sangat mustahil jika seorang anak yang berada di bawah umur akan menolak untuk didampingi penasihat hukum, apalagi sampai-sampai menulis surat pernyataannya bahwa dirinya tidak bersedia untuk didampingi penasihat hukum.
Visi yang tak Sama.
Bahwa kewajiban hukum bagi Penyidik untuk menyediakan penasihat hukum bagi anak ketika diperiksa ditingkat penyidik pada dasarnya bersifat imperatif. Karena dengan tidak didampinginya anak dalam pemeriksaan di tingkat penyidikan maka BAP yang dibuat secara otomatis akan berakibat cacat hukum, dan pada akhirnya Surat Dakwaan Jaksa Penuntut Umum yang disusun berdasarkan BAP yang cacat hukum tersebut secara otomatis juga menjadi batal demi hukum.
Bahwa padangan ini pada dasarnya telah diterapkan oleh Juris di Pengadilan Negeri Wonosobo dalam Putusan No. 22/Pid.B/2002/PN.WNS yang kemudian dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Yogjakarta dalam Putusan No. 03/PID/PLW/2002/PTY. Selanjutnya dalam perkara Deli Suhandi (14 tahun) yang tidak didampingi oleh penasihat hukum selama proses BAP, yang kemudian menandatangani surat pernyataan tidak bersedia untuk didampingi penasihat hukum yang disodorkan oleh Penyidik ternyata atas hal tersebut hakim Penghadilan Negeri Jakarta Pusat menyatakan hal tersebut merupakan perbuatan melawan hukum, mengingat Penyidik memiliki kewajiban hukum untuk menunjuk penasihat hukum. Pendapat ini dapat ditemukan dalam Putusan No. 728/Pid.B/2011/PN.JKT.PST, tanggal 11 Mei 2011 yang dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dalam Putusan No. 246/Pid.B/PLW/2011/PT.DKI, tanggal 19 Juli 2011. Bahwa pendapat hukum tersebut juga sesuai dengan pendirian MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA dari suatu Putusannya No. 1565K/Pid/1991, Tanggal 16 September 1993 jo. No. 367 K/Pid/1998 tertanggal 29 Mei 1998.
Namun ternyata lagi-lagi hakim kita tidak memiliki kesamaan pandangan atas hal ini. Terkadang mereka berpendapat bahwa hakim tidak terikat pada pendapat hakim sebelumnya. Namun menurut penulis hal tersebut merupakan persyaratan formal dan perintah undang-undang, oleh karenanya tidak ada satupun alasan yang bisa dibenarkan bagi hakim untuk membiarkan anak diperiksa dalam persidangan padahal BAP nya dibuat tanpa didampingi oleh Penasihat Hukum.
Penulis berharap dikemudian hari Mahkamah Agung memiliki kesamaan pandangan dalam membuat putusan, sehingga hak anak untuk mendapatkan penasihat hukum tidak diabaikan. Dan pada akhirnya proses persidangan yang berlangsung sudah melalui tahapan-tahapan yang ditentukan oleh peraturan hukum yang berlaku, sehingga membawa anak ke tengah persidangan merupakan jalan terakhir. (Supriyadi Sebayang, S.H)
Saat ini hampir disemua sudut-sudut pengadilan di seluruh Indonesia banyak terpampang poster-poster bertuliskan “Penjara Bukan Tempat Terbaik Bagi Anak”. Belum lagi pemerintah telah menerbitkan Surat Keputusan Bersama yang ditandatangani dan ditetapkan pada tanggal 22 Desember 2009 secara bersama-sama oleh 6 (enam) Pimpinan Lembaga Tinggi Negara antara lain Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Menteri Hukum Dan HAM Republik Indonesia, Menteri Sosial Republik Indonesia, Menteri Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak Republik Indonesia yang pada pokoknya berisikan tentang mekanisme penyelesaian pidana dengan pelaku harus menggunakan pendekatan restoratif. Pendekatan restoratif yang dimaksud adalah anak yang berhadapan dengan hukum penyelesaiannya harus didahului melalui mekanisme musyawah yang melibatkan Balai Pemasyarakatan, orang tua dan/atau keluarga korban dan pelaku tindak pidana serta tokoh masyarakat setempat.
Namun ternyata meskipun telah banyak poster yang terpampang di Pengadilan tentang anak dan telah diterbitkannya SKB 6 Pimpinan Lembaga Tinggi Negara, ternyata aparat penegak hukum kita masih saja melakukan praktik penegakan hukum terhadap pelaku anak-anak dengan pendekatan persidangan dan penjara.
Hak Untuk Didampingi Penasihat Hukum.
Dalam perkara anak seringkali didapati kondisi ketika anak berhadapan dengan hukum haknya untuk mendapatkan penasihat hukum dilalaikan oleh Penyidik Kepolisian dan Jaksa. Padahal jika merujuk pada pasal 51 ayat (1) UU No. 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak telah diuraikan bahwa setiap Anak Nakal sejak saat ditangkap atau ditahan berhak mendapatkan bantuan hukum dari seorang atau lebih Penasihat Hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan menurut tata cara yang ditentukan dalam Undang-undang.
Bahwa ketentuan pasal tersebut bersifat imperatif dan harus dilaksanakan oleh penyidik, mengingat hal tersebut merupakan hak anak yang harus dipenuhi oleh penyidik. Namun kerap kali penyidik tidak mau memenuhi hak anak tersebut, alih-alih penyidik kepolisian menyiapkan surat penyataan bahwa si anak tidak bersedia untuk didampingi oleh penasihat hukum (Lihat perkara Deli Suhandi di PN Jak-Pus).
(http://megapolitan.kompas.com/read/2011/05/11/16352515/Eksepsi.Dikabulkan.Deli.Suhandi.Bingung).
Pembuatan Surat Pernyataan tidak bersedia untuk didampingi penasihat hukum yang dilakukan oleh Penyidik tampaknya sudah menjadi kebiasaan, padahal tindakan tersebut bertentangan dengan hukum sehingga seharusnya dinyatakan batal demi hukum. Seringkali dalam persidangan para penasihat hukum mengangkat masalah ini yang dituangkan dalam sebuah eksepsi, namun ternyata dalam persidangan hakim tidak pernah memperhatikannya. Padahal seorang anak yang masih berada di bawah usia tidak diperkenankan untuk melakukan perbuatan hukum (diperiksa), melainkan harus dengan persetujuan dan didampingi oleh Penasihat hukum atau orang tua dan atau walinya.
Masih ingat dalam ingatan kita ketika seorang Cirus Sinaga, SH, Komjen Pol. Susnoduadji, Prof. DR. Yusril Ihza Mahendra, S.H, M.Hum, dan Prof. Dr Romli Atmasasmita, sederet ahli hukum dan orang-orang yang sudah berpengalaman dalam dunia hukum pidana ternyata ketika berhadapan dengan hukum masih membutuhkan jasa pengacara / penasihat hukum untuk mendampinginya ketika dalam proses pemeriksaan di tingkat kepolisian, kejaksaan dan persidangan. Maka berdasarkan hal tersebut sangat mustahil jika seorang anak yang berada di bawah umur akan menolak untuk didampingi penasihat hukum, apalagi sampai-sampai menulis surat pernyataannya bahwa dirinya tidak bersedia untuk didampingi penasihat hukum.
Visi yang tak Sama.
Bahwa kewajiban hukum bagi Penyidik untuk menyediakan penasihat hukum bagi anak ketika diperiksa ditingkat penyidik pada dasarnya bersifat imperatif. Karena dengan tidak didampinginya anak dalam pemeriksaan di tingkat penyidikan maka BAP yang dibuat secara otomatis akan berakibat cacat hukum, dan pada akhirnya Surat Dakwaan Jaksa Penuntut Umum yang disusun berdasarkan BAP yang cacat hukum tersebut secara otomatis juga menjadi batal demi hukum.
Bahwa padangan ini pada dasarnya telah diterapkan oleh Juris di Pengadilan Negeri Wonosobo dalam Putusan No. 22/Pid.B/2002/PN.WNS yang kemudian dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Yogjakarta dalam Putusan No. 03/PID/PLW/2002/PTY. Selanjutnya dalam perkara Deli Suhandi (14 tahun) yang tidak didampingi oleh penasihat hukum selama proses BAP, yang kemudian menandatangani surat pernyataan tidak bersedia untuk didampingi penasihat hukum yang disodorkan oleh Penyidik ternyata atas hal tersebut hakim Penghadilan Negeri Jakarta Pusat menyatakan hal tersebut merupakan perbuatan melawan hukum, mengingat Penyidik memiliki kewajiban hukum untuk menunjuk penasihat hukum. Pendapat ini dapat ditemukan dalam Putusan No. 728/Pid.B/2011/PN.JKT.PST, tanggal 11 Mei 2011 yang dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dalam Putusan No. 246/Pid.B/PLW/2011/PT.DKI, tanggal 19 Juli 2011. Bahwa pendapat hukum tersebut juga sesuai dengan pendirian MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA dari suatu Putusannya No. 1565K/Pid/1991, Tanggal 16 September 1993 jo. No. 367 K/Pid/1998 tertanggal 29 Mei 1998.
Namun ternyata lagi-lagi hakim kita tidak memiliki kesamaan pandangan atas hal ini. Terkadang mereka berpendapat bahwa hakim tidak terikat pada pendapat hakim sebelumnya. Namun menurut penulis hal tersebut merupakan persyaratan formal dan perintah undang-undang, oleh karenanya tidak ada satupun alasan yang bisa dibenarkan bagi hakim untuk membiarkan anak diperiksa dalam persidangan padahal BAP nya dibuat tanpa didampingi oleh Penasihat Hukum.
Penulis berharap dikemudian hari Mahkamah Agung memiliki kesamaan pandangan dalam membuat putusan, sehingga hak anak untuk mendapatkan penasihat hukum tidak diabaikan. Dan pada akhirnya proses persidangan yang berlangsung sudah melalui tahapan-tahapan yang ditentukan oleh peraturan hukum yang berlaku, sehingga membawa anak ke tengah persidangan merupakan jalan terakhir. (Supriyadi Sebayang, S.H)
0 comments:
Post a Comment