METRO TV NEWS HUKUM

BERITA LAINYA

Tinjauan Hukum SKPP Bibit-Chandra

Tinjauan SKPP Bibit - Chandra - Putusan Pengadilan Negeri Jakarta selatan atas Putusan pembatalan SKPP Bibit Chandra nampaknya akan menimbulkan persoalan baru di Indonesia. Putusan tersebut bisa jadi akan kembali memicu munculnya gerakan perlawan “masyarakat”. Namun tidak menutup kemungkinan masyarakat akan diam saja, karena masyarakat sudah  semakin terbuka pikirannya akibat derasnya arus informasi media yang menginformasikan betapa bopengnya wajah institusi penegak hukum kita, bahkan partai politik setali tiga uang aparat penegak hukum.

Paska dibukanya rekaman kriminalisasi Anggodo CS terhadapa Biibit - Chandra masyarakat luas banyak yang menduga bahwa kasus pemerasan dan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh bibit candra adalah rekayasa belaka. Namun rekayasa tersebut sudah seharusnya diuji, mengingat klarifikasi yang dilakukan baik kubu Kepolisian dan Kejaksaan sama-sama memiliki kebenaran yang menyakinkan sehingga dalam hal ini ada dua kebenaran yang berbeda .

Berkali kali Bibit – Chandra Cs mengungkapkan keborokan Penyidik Kepolisian yang berafiliasi dengan Anggodo Cs telah melakukan rekayasa. Namun tidak kalah meyakinkannya dengan kalarifikasi yang dilakukan Kapolri Cs dan kejaksaan bahwa rekayasa tersebut tidak ada, bahkan kedua pimpinan penegak hukum tersebut sudah menyatakan bahwa berkas sudah P21, yang artinya bukti-bukti telah cukup bahwa Bibit-Chandra melakukan tindak pidana yang dituduhkan dan siap dilimpahkan ke pengadilan. Luar biasa klarifikasi yang dilakukan oleh kedua kubu, dan hasilnya tentu saja masyarakat dibuat bingung sedemikian rupa, ironisnya masing-masing pihak saling membangun opini untuk mencari dukungan. Klimaksnya kita telah membiarkan Press dan lembaga politik (Presiden) menjadi hakim dalam konflik hukum ini.Atas peristiwa ini tampaknya kita hukum memilih jalan yang lebih bijak.

Dalam beberapa diskusi yang dilakukan oleh Jakarta Lawyers Club banyak yang mengusulkan agar kasus tersebut di uji saja di pengadilan, guna menghidari kesimpang siuran persepsi yang ada dimasyarakat. Atas hal tersebut, saya sangat setuju, mengingat hanya hakim yang memiliki hak konstitusional untuk mengadili dan memutuskan mana yang benar dan mana yang salah.

Nilai Keadilan Paska Terbitnya Putusan Pembatalan SKPP

Paska terbitnya SKPP dan kemudian dibatalkan dalam persidangan praperdilan yang dipimpin oleh Hakim tunggal di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan sudah seharusnya disikapi dengan bijak. Jaksa dalam hal ini sebagai pihak yang menerbitkan SKPP sepatutnya sesegera mungkin mengajukan upaya hukum terakhir /banding kepengadilan tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (2) KUHAP. Hal ini untuk menghindari munculnya pandangan inkonsistensi atas konstruksi hukum yang sudah dibentuk oleh jaksa. Disamping itu pengajuan banding juga dapat menjadi oase bagi Bibit – Chandra untuk mendapatkan keadilan, jika banding tidak diajukan tentu saja menjadi preseden buruk bagi kejaksaan, dan hampir dipastikan asumsi yang terbentuk adalah kejaksaan belum “ insyaf “.

Kompetensi praperadilan
Bahwa sejatinya dari kompetensi praperadilan atas SKPP (Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan) adalah berkaitan dengan formalitas / sah tidaknya SKPP tersebut. Berkaitan dengan sah atau tidaknya sebuah SKPP tersebut tentu saja berkaitan sah tidaknya terbitnya SKPP. Jika kita berpijak pada ketentuan Pasal 140 ayat (2) huruf a dapat kita pahami bahwa syarat sahnya dari SKPP dikeluarkan adalah:
1. Karena tidak adanya cukup bukti;
2. Peristiwa tersebut ternyata bukan tindak pidana ;
3. Ditutup demi kepentingan hukum.

Bahwa, jika kita tafsirkan secara gramatikal tampaknya alasan pertama dan kedua bisa kita pahami, namun sulit rasanya jika alasan yang digunakan adalah ditutup demi kepentingan hukum. Dalam penjelasan KUHAP sendiri tidak menjelaskan secara jelas apa yang dimaksud dengan ditutup demi kepentingan hukum.

Dalam hal ini saya berpendapat bahwa hendaknya kewenangan / hak untuk menafsirkan suatu peraturan perundang-undangan diberikan kepada hakim, tidak diberikan kepada jaksa, pengacara, atau polisi. Adapun alasan hak untuk menafsirkan hukum diberikan kepada hakim karena hal tersebut sesuai dengan asas ius curia novit (hakim di anggap tau hukum), dimana asas ini melegitimasi hakim untuk melakukan recht finding dalam hal hukum tidak mengatur secara jelas. Maka adalah tepat jika SKPP yang dikeluarkan atas dasar demi kepentingan hukum / kepentingan bangsa dan Negara tersebut diuji oleh oleh Anggodo Cs, apakah benar SKPP dibenarkan terbit atas dasar kepentingan hukum ?, lalu apa yang dimaksud kepentingan hukum, silahkan hakim menilai. Mungkin banyak sekali SKPP yang telah di terbitkan oleh jaksa dan banyak dipermasalahkan oleh masyarakat. Lalu apa salahnya jika SKPP tersebut diuji kembali, setidaknya hal tersebut dibenarkan menurut hukum.

Kejaksaan pun menanyakan legal standing dari Anggodo sebagai pihak yang mengajukan praperadilan. Legal standing erat kaitannya dengan kepentingan hukum seseorang atas perkara tersebut, jika dia berkaitan langsung dengan perkara praperadilan tersebut maka dapat disimpulkan orang tersebut memiliki legal standing. Berdasarkan ketentuan pasal 80 KUHAP telah dijelaskan yang dapat mengajukan permintaan sah atau tidak sahnya sebuah penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan antara lain :
1.Penyidik,
2.Penuntut umum,
3.Pihak ketiga yang berkepentingan.

Bahwa dalam perkara terbitnya SKPP yang diterbitkan oleh Jaksa tentu saja yang dapat mengajukan praperadilan adalah Kepolisian dan Pihak Ketiga, mengingat sangat tidak mungkin jaksa mengajukan praperadilan atas produk hukumnya sendiri.

Dalam perkara Anggodo yang nota bene selaku pemohon Praperadilan maka kedudukan Anggodo berdasarkan pasal 80 KUHAP adalah dapat dikatakan sebagai pihak ke tiga yang berkepentingan. Hal ini adalah logis mengingat dugaan tindak pidana penyalagunaan wewenang yang dilakukan oleh Bibit dan Chandra dilakukan atas Anggoro yang merupakan abang kandungnya. Kalau tuduhan tersebut benar, maka setidaknya tindakan tersebut merupakan bagian dari korupsi, sehingga dapat dipastikan setiap warga Negara memiliki kepentingan hukum atas penyelesaian perkara-perkara korupsi, termasuk saya, SBY, Yusuf Kala, Bambang Hendarso maupun Anggodo. Tapi apapun pendapat saya setidaknya hakim telah menerima permohonan praperadilan tersebut, toh Cuma hakim yang berwenang untuk melakukan penafsiran hukum atas diri Anggodo yang menyatakan dirinya sebagai pihak ketiga yang berkepentingan.

Mudah-mudahan hakim – hakim kita isyaf bahwa sebobrok-bobroknya lembaga peradilan, masyarakat masih berharap pada hakim-hakim  kita untuk medapatkan putusan yang manusiawi. Semoga kita semua masih sejalan bahwa hukumlah yang menjadi panglima, bukan politik, dan semoga kita sadar bahwa hakimlah sang pengadil, bukan Press, Jaksa, Polisi, Pengacara atau Presiden. *Supriyadi Sebayang / Advokat & Don
Loading

0 comments:

Post a Comment

 
Powered By Blogger | Portal Design By KOHUON-line © 2009 | Resolution: 1024x768px | Best View: Firefox | Top