Mantan Kabareskrim Komjen Pol Purn. Susno Duadji siap dieksekusi oleh Kejari Jakarta Selatan, sesuai putusan Mahkamah Agung (MA) terkait perkara korupsi yang menjerat dirinya.
“Saya siap dieksekusi sesuai putusan MA,” kata Susno melalui kuasa hukumnya Frederic Yunadi Senin (18/2).
Namun begitu, dia melanjutkan bila dirinya dieksekusi tidak sesuai dengan putusan kasasi MA, 22 November 2012, maka dirinya akan menggunakan hak-haknya, seperti diatur dalam pasal 333 KUHAP.
“Penegak hukum yang mengeksekusi tidak sesuai dengan putusan kasasi dapat dianggap sebagai perampasan kemerdekaan seseorang. Dan dapat dipidanakan selama 12 tahun,” terang Frederic.
Putusan kasasi MA. Menolak kasasi termohon dan kasasi oleh jaksa penuntut umum. Dan menghukum terdakwa dengan membayar denda sebesar Rp2.500.
TIDAK LAZIM
Dia menjelaskan eksekusi terhadap kliennya sesungguhnya tidak dapat dilaksanakan dan cacat hukum, karena kesalahan nomor perkara.
“Seperti surat panggilan eksekutor tertulis Nomor 801K/Pid.Sus/2012. Sedangkan perkaranya Susno Duadji bernomor 889K/Pid.Sus/2012.”
Ditambahkan pula soal eksekutor, yang seharusnya oleh jaksa penuntut umum, tapi justru akan dilakukan Kasipidsus Kejari Jakarta Selatan dan bertentangan dengan KUHAP. “Menegakan hukum, jangan sampai melanggar hukum.”
Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Andhi Nirwanto menyatakan tengah mempelajari putusan MA dan kemudian ditentukan sikap.
Susno dibawa ke PN Jakarta Selatan terkait perkara dana pengamanan Pilkada Jabar 2008 dan menerima suap dari PT Salma Arowana Lestari dan divonis 3,5 tahun dan diperkuat oleh Pengadilan Tinggi DKI
Pendapat Yang Membenarkan Sikap Susno Duadji Menolak Eksekusi
Mantan Hakim Mahkamah Agung (MA) Asep Iwan Iriawan menyatakan, kisruh penerapan Pasal 197 KUHAP tak perlu terjadi apabila dalam membuat sebuah putusan, hakim mengacu pada hukum acara pidana.
Asep Iriawan menegaskan, tak dipatuhinya KUHAP oleh hakim kini membuat banyak terdakwa tak memperoleh kepastian hukum.
Dipaparkannya, setiap putusan yang dikeluarkan pengadilan, mulai dari Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi hingga Mahkamah Agung haruslah wajib memuat ketentuan Pasal 197 KUHAP.
Pasal tersebut bersifat tekstual dengan artian wajib dicantumkan didalam putusan, sesuai dengan pasal 3 KUHAP itu sendiri, dimana dinyatakan bahwa peradilan dilakukan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
Diketahui ketentuan Pasal 197 ayat (1) KUHAP memuat 12 poin, dimulai dr huruf a hingga l,yang harus dimuat dalam putusan pemidanaan. Apabila salah satu poin keculai hruf g, tidak termuat dalam putusan pemidanaan tersebut mengakibatkan putusan batal demi hukum sebagaimana ditegaskan Pasal 197 ayat (2) KUHAP.
“Kalau ada salah satu misalkan yang sekarang jadi masalah tidak ada perintah terdakwa ditahan (pasal 197 ayat 1 huruf k) itu batal demi hukum dan itu sudah pasti ketentuannya,”terang Asep, Selasa (5/3).
Namun sayang, banyak hakim kini ceroboh tak mengindahkan KUHAP saat membuat putusan.Dampak ketidak profesionalan hakim itulah lantas dibawanya Pasal 197 ayat (1) huruf k, ayat (2) UU No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) ke meja Mahkamah Konstitusi (MK) untuk diuji materikan sebagaimana yang dilakukan oleh terpidana Parlin Riduansyah melalui kuasa hukumnya Yusril Ihza Mahendra.
“Secara logika Pasalnya 197 KUHAP sangat jelas tanpa ke MK. Tanpa hak uji materi harusnya itu (KUHAP) dibaca, kecuali kalau penegak hukum tidak mengerti bahasa Indonesia. Jelas apa pun harus dilaksanakan itu perintah undang-undang yang tekstual. Jadi tidak perlu ada acara ke MK,”cetusnya
.
Setali dua uang dengan hakim yang ceroboh, Asep juga menyayangkan langkah jaksa yang tetap ngotot melaksanakan eksekusi atas putusan hakim yang ‘cacat’ yang notabene tidak boleh dieksekusi tersebut.
“Seharusnya jaksa jangan mau. ‘Kan eksekutornya jaksa. Jaksa tidak bisa eksekusi karena batal demi hukum. Itu ‘kan sudah jelas tidak ada penafsiran lain, Pasal 197 mengatakan batal demi hukum, jaksa juga jangan menafsirkan hal lain,”tukasnya.
Korban Dibebaskan
Dilanjutkan Asep Iriawan, yang juga pengamat hukum itu, pihak Kejaksaan dan Kementerian Hukum dan HAM dalam hal ini Dirjen Pas harusnya mengakui kesalahanya bahwa selama ini memang tak mengindahkan KUHAP yakni dengan memaksakan eksekusi putusan MA atas kecerobohan yang dibuat oleh hakim MA tanpa mematuhi KUHAP.
“Jangan seperti sekarang; kejaksaan maupun Kementrian Kumham yang menyiapkan penjara, beranggapan bahwa ini ‘kan ada perintah, ini harus eksekusi. Tidak begitu. Tapi kedua instansi tersebut harus berprinsip berpatokan pada KUHAP,”tegasnya.
Kalau putusan MA yang dikeluarkan batal demi hukum, Kejaksaan dan Kemenhumham harus berani menolak melaksanakan putusan tersebut.
“Kalau tidak memenuhi (pasal 197 kuhap) jaksa jangan mau melaksanakan. Karena dia melaksanakan putusan yang batal demi hukum. Siapa pun yang mengeksekusi putusan batal demi hukum, itu melanggar hukum,”jelasnya.
Lantas bagaimana bila jaksa sudah terlanjur mengeksekusi putusan yang batal demi hukum, Asep menegaskan bila sudah terlanjur maka baik jaksa sebagai eksekutor dan dirjen pas kemenkumham dalam hal ini kalapas yang sudah menerima orang yang telah dieksekusi harus berani bertanggung jawab.
“Keluarkan. Karena kan melanggar 197 KUHAP. karena putusan yang dieksekusi itu tidak memenuhi 197 hurup k, yang sudah ditahan kan harus dikeluarkan,”tegasnya.
Asep juga meminta Kejaksaan dan Dirjen Pas merujuk pada putusan MK tanggal 22 November 2012 terkait Pasal 197 ayat (1) huruf k, ayat (2) UU No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) untuk memberi kepastian hukum dan tidak berpatokan pada surat edaran dari MA saja.
“Negeri ini berdasarkan undang-undang bukan berdasarkan surat edaran. Saat ini yang harus dilakukan adalah keluarkan yang sudah dipenjara. Mungkin dulu dia (jaksa dan dirjenpas) tidak tahu kan, karena dulu kebiasaan tanpa mencantumkan itu langsung saja laksankan (eksekusi)”.“Sekarang ini orang sudah jeli dan cerdas, tidak bisa hukum dimain-mainkan, dan jika para penegak hukum tidak patuh terhadap KUHAP, merupakan pelanggaran berat” tutupnya.
Tanggapan Mahkamah AGung Terkait Penolakan EKsekusi Susno Duadji
Tidak dicantumkannya pasal 197 huruf K (penahanan) dalam putusan kasasi Susno Duadji tidak ada masalah dan itu tidak membuat putusan tersebut batal demi hukum.
“Putusan MK (Mahkamah Konstitusi) sudah menyatakan putusan tidak dicantumkannya pasal 197 tidak membuat putusan batal demi hukum,” kata Ketua MA Hatta Ali seusai seminar ulang tahun IKAHI (Ikatan Hakim Indonesia di Ancol, Jakarta, Rabu (27/3).
Sebelumnya, mantan Kabareskrim Komjen Pol Purn. Susno Duadji gagal dieksekusi oleh Kejari Jakarta Selatan, Senin dengan dalih Putusan itu batal demi hukum. Bahkan, dia balik melaporkan jaksa ke Polri dengan alasan melanggar HAM.
Menurut Hatta, institusinya sudah memutus perkara tersebut sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, sehingga Kejaksaan sudah dapat mengeksekusinya.
“Jadi tidak ada yang salah dengan putusan MA itu. Amarnya menolak kasasi Susno Duadji dan jaksa penuntut umum,” ujarnya.
Dia menambahkan pasal 197 tidak perlu dicantumkan, karena dalam putusan pengadilan bawahannya sudah dicantumkan (penahanan)n sehingga dalam memori kasasi dan permohonan kasasi ditolak, maka MA hanya menolak kasasi.
“Dengan begitu, putusan kasasi MA sama dengan putusan pengadilan dibawahnya (pengadilan negeri).”
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memvonis Susno Duadji tiga tahun penjara dan enam bulan terkait perkara Biaya Pengamanan Pilkada Jabar, 2008 dan suap sebesar Rp 500 juta dari PT Salmah Arowana Lestari di Riau.
Selain itu, Susno juga diwajibkan membayar denda Rp200 juta dan membyar uang pengganti Rp4,028 miliar, 2012.
Siapakah diantara mereka yang benar, adil dan pasti ???
Sumber: Poskota